Siwaratri Malam Kesadaran, Bukan Penebusan Dosa

Siwaratri Malam Kesadaran, Bukan Penebusan Dosa - Kisah Lubdhaka seorang pemburu yang kemudian berhasil masuk nirwana rupanya telah mengobsesi sebagian kalangan umat untuk bergiat mengikuti program malam Siwaratri dengan harapan sanggup mengikuti jejak Lubdhaka. Lubdhaka yang meskipun banyak melaksanakan perbuatan dosa, karena ia yakni seorang pembunuh (binatang), namun karenanya berhasil mencapai surga, sebuah kawasan yang selalu menjadi harapan umat untuk dicapai sesudah kematian menjemput.

Kisah Lubdhaka seorang pemburu yang kemudian berhasil masuk nirwana rupanya telah mengobsesi Siwaratri Malam Kesadaran, Bukan Penebusan Dosa

Pemahaman yang demikian dangkal inilah yang sepertinya menciptakan kesalahkaprahan terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri yang tahun ini akan dilaksanakan 22 Januari mendatang. Kebanyakan umat Hindu (awam), karenanya berkembang menjadi pendapat umum, bahwa Siwaratri dianggap sebagai malam penebusan dosa. Padahal secara harfiah, arti kata Siwaratri, lengkapnya Siwaratri Kalpa yakni sebagai malam penghormatan Siwa yang sepatutnya dimaknai sebagai malam kesadaran (tan mrema, tan aturu) bukan sekadar begadang semalam suntuk kemudian berharap segala dosa ditebus, kemudian sesudah ajal menjemput nirwana menyambut.

Alur dongeng Siwaratri yang menampilkan citra hidup Lubdaka yang yakni seorang pemburu kemudian masuk surga, mengesankan betapa dosa itu sanggup dengan gampang ditebus oleh seseorang yang keseharian hidupnya terbiasa merlakukan Himsa Karma, membunuh binatang yang hakikatnya makhluk hidup juga. Jika disimak lebih dalam makna satwa (kebenaran) dibalik satua (penceritaan) Siwaratri, didapat pemahaman, sesungguhnya semua kisah lengkap perihal perjalanan hidup Lubdaka, yakni citra perihal kehidupan kita, yang diingatkan untuk selalu berikhtiar mencari dan karenanya menemukan Sang Jati Diri (atutur ikang atma ri jatinya) sebagai jalan mencapai Sang Mulajadi, Tuhan itu sendiri.

Jati diri sebagai homo religious yang senantiasa dituntun sekaligus dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas diri, lahir bathin : material spiritual. Karena itu kisah perjalanan Lubdaka sebetulnya merupakan episode kehidupan insan yang pada karenanya harus kembali kepada-Nya dengan cara pelan tapi niscaya semoga meninggalkan kehidupan duniawi yang diikat raga (indria) dan selalu berbuah papa (hina, sengsara). Itulah sebabnya Lubdaka digambarkan pergi meninggalkan rumah, anak dan istri menuju ke hutan jauh dari keramaian dunia yang bersahabat dengan keinginan duniawi. Harapannya semoga ia menemukan marga satwa (jalan kebenaran) dalam usahanya membunuh (sifat-sifat) kehewaniannya.

Oleh karena kapetengan (kemalaman), sebagai citra bahwa ia masih diliputi kegelapan (kebodohan/ketidaksadaran), maka Lubdaka menaiki sebuah pohon Bilwa (Bila), sebagai menunjukan bahwa ia hendak meningkatkan kualitas dirinya, terutama rohani/spiritualnya. Agar tetap dalam keadaan terjaga (jagra), ia memetik-metik daun Bilwa, sebagai arahan ia dengan tekun dan disiplin serta penuh konsentrasi mencurahkan rasa bhaktinya semoga tetap dalam keadaan eling ring raga (berkesadaran).

Setiap cuilan perbuatan Lubdhaka itu sebetulnya merupakan fragmentasi betapa pentingnya ''pengisian diri'' dengan banyak sekali jnana (pengetahuan/widya) semoga menjadi wijnana (bijaksana) yang disimbolisasikan dengan memetik daun (lambang media aksara/ilmu). Selanjutnya menjadi bekal watak meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga memudahkan pencapaian obsesi ''persatuan'' dengan Siwa, sebagaimana dilukiskan Lubdhaka bersamaan/bersatu dalam Yoganya Siwa yang membuatnya patut menerima anugerah Siwaloka (surga).

Surga yang karenanya berhasil dicapai Lubdaka sejatinya pembuktian bahwa siapapun umat insan meski dalam keseharian hidupnya penuh dengan gelimangan dosa. Jika timbul kesadaran untuk merubah dan kemudian memperbaiki diri semoga menjadi lebih berkualitas, jasmani-rohani atau material-spiritual, maka pahala nirwana siap menanti untuk dinikmati. Namun patut disadari, duduk perkara pencapaian obsesi nirwana tidaklah semudah sebagaimana digambarkan lewat ''kisah satu malam'' Lubdhaka yang kemudian mengantarkannya meraih tiket surga. Bagaimanapun juga, semua bentuk pencapaian, niscaya dibarengi dengan usaha sekaligus pembelajaran, syukur-syukur menerima pencerahan guna mencapai kesadaran hingga karenanya mencapai klimaks kebahagiaan atau keabadian di alam-Nya.

Dalam konteks apa yang dilakukan atau ditiru oleh umat Hindu kebanyakan, lebih-lebih dari kalangan kawula mudanya dengan menafsirkan malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa, sesungguhnya merupakan sebuah kesalahkaprahan sekaligus bentuk penyimpangan terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri. Apalagi kemudian dengan alasan majagra begadang semalam suntuk menciptakan kegiatan/acara yang keluar dari konteks ritual Siwaratri itu. Misalnya bepergian, terkadang berpasang-pasangan ke tempat-tempat sepi di malam hari menyerupai ke pantai atau lokasi lain yang dipandang kondusif dari pengawasan. Entah apa yang kemudian dilakukan belum dewasa generasi muda Hindu tersebut, yang niscaya maksud hati hendak bermalam Siwaratri dengan harapan menebus dosa kenyataannya malah semakin menambah dosa.

Tujuan utama Siwaratri untuk melebur atau melenyapkan (mapralina) kegelapan hati semoga mencapai pencerahan dan kesadaran karenanya berujung pada semakin jatuhnya kualitas diri insan dari berstatus Manawa (manusia) yang seharurnya meningkat ke level Madawa (Dewa) justru menjelmakan karakter Danawa (raksasa), yang tentu saja semakin menjerumuskan insan ke lembah dosa sekaligus menjauh dari surga.

Anda menyukai artikel ini?

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Siwaratri Malam Kesadaran, Bukan Penebusan Dosa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel